Kekuasaan yang Memonopoli

by - April 16, 2012

Oleh Budi Hatees

Dipublikasikan di Jurnal Nasional edisi  Senin, 30 Jan 2012

MENYAKSIKAN peristiwa-peristiwa hukum yang belakangan kerap terjadi, ada baiknya kita mengingat seorang laki-laki yang pernah hidup dalam abad ke-18. Suatu ketika laki-laki itu berkata, "Sebuah negeri hanya bisa mendapat apabila sebuah negeri lain merugi." Orang itu adalah Voltaire, seorang sastrawan yang juga filsuf.

Di negeri ini kita mengenalnya lewat novel pendeknya yang bergaya satire, Si Lugu. Pada zamannya ketika ucapan itu ia ungkapkan, manusia hidup dalam sejarah ekonomi yang disibukkan urusan mengumpulkan harta berupa barang-barang logam. Kekuasaan seseorang hanya diukur dari jumlah harta yang berhasil ia kumpulkan; dari jumlah kuda yang menarik keretanya; dari perhiasan logam mulia yang bisa ia pertontonkan kepada orang banyak.

Kalimat Voltaire lebih sebagai sepotong kritik bagi para penguasa di negara-negara Eropa. Kalimat yang menguraikan realitas kehidupan berbangsa di aras global pada zaman itu, zaman ketika kolonialisme menjadi pilihan utama bagi negara-negara di Eropa dalam membangun bangsanya. Pilihan yang menyengsarakan kehidupan umat manusia di negara-negara koloni, tetapi memakmurkan manusia di negara-negara yang memilih kolonialisme sebagai ideologi untuk memakmurkan rakyatnya.

Kalimat tersebut juga menjadi ungkapan lain atas selarik makna yang menegaskan kemakmuran hanya bisa diperoleh dengan cara menguasai semua sumber daya kemakmuran yang ada. Untuk menjadi penguasa tunggal atas sumber daya yang ada, pada abad ke-18 itu, hanya bisa dilakukan dengan tangan besi. Inggris, Prancis, Spanyol, Portugal, dan Belanda adalah negara-negara Eropa yang memiliki kekuasaan tunggal atas sumber daya yang ada di negeri-negeri koloninya.

Tapi yang penting dari Voltaire bukan situasi pada zaman ketika ia hidup, bukan pula pemikirannya yang tajam, melainkan bila hari ini kalimatnya dipinjam setelah mengubah kata "negeri" dengan "seseorang", sehingga kalimat itu menjadi "seseorang hanya bisa mendapat apabila seseorang yang lain merugi". Kalimat seperti itu segera menggiring pemahaman kita terhadap hal-hal yang kini berlangsung di negeri ini, bahwa orang hanya bisa menjadi makmur apabila ia berhasil menyengsarakan orang lain.

Ketika zaman sudah berubah, hanya orang-orang bodoh yang memilih tangan besi hanya agar bisa berkuasa secara tunggal, karena tangan besi mensyaratkan ada daging yang sobek, darah yang ditumpahkan, penjara yang dipenuhi tahanan, dan segala macam pelanggaran hak asasi manusia. Di awal abad ke-20 ini, kolonialisme nyaris tak ada lagi. Tangan besi telah dicemooh dan ditertawakan. Para diktator digulingkan dari tampuk kekuasaannya oleh demontrasi massa, dihukum, dan digantung.

Namun demikian, kita bisa mengatakan bahwa keinginan untuk berkuasa secara tunggal tidak sepenuhnya hilang dari diri para penguasa. Bahkan, di sebuah negara yang mengelu-elukan demokrasi, seperti di negeri kita ini, penguasa memiliki keinginan menjadi pemegang tunggal segala dinamika yang ada dengan menjalankan roda pemerintahan bergaya feodalisme.

Setiap orang ingin berkuasa secara tunggal. Keinginan yang dipelihara seperti seseorang memelihara burung perkututnya dalam novel Iwan Simatupang, sehingga ia terobesesi oleh suara Kooong yang dikeluarkan burung itu, dan ia sanggup melakukan apa saja untuk mewujudkan keinginannya. Dan orang itulah yang kemudian berada dalam posisi "mereka yang mendapat". Jika ia pebisnis, tak akan digubrisnya nasihat Prof Charles E Lindblom dalam bukunya, Politics and Markets (1979) yang menyebut: "perusahaan swasta yang besar tidak cocok hidup di dunia demokrasi."

Pengusaha itu akan memilih melakukan monopoli sekalipun negara mengeluarkan regulasi antimonopoli di era pasar bebas, karena ia akan berkolaborasi dengan siapa saja untuk membangun jaringan kolonialisme baru yang disebut elite capture guna menyamarkan bisnisnya dengan membangun kesan seakan-akan tidak monopoli justru setelah mengadobsi nilai-nilai dari pasar bebas itu. Tidak heran, pebisnis seperti itu tumbuh dan besar sendiri, hidup dari mengabaikan nilai-nilai demokratisasi, tetapi memanfaatkan teori-teori demokrasi dengan cara ikut mendirikan partai politik untuk meloloskan kepentingan-kepentingan pribadinya.

Berada pada pihak "mereka yang mendapat" merupakan posisi yang dominan untuk menciptakan pihak "mereka yang merugi". Mereka yang berada dalam posisi "seseorang yang merugi" pastilah seseorang yang memiliki perasaan dikhianati, dibiarkan, dikadali, dan dijerumuskan. Ia akan tertekan secara psikologis. Emosinya tak stabil, meletup-letup. Ucapannya tidak bisa dipegang. Tak heran jika kemudian "seseorang yang merugi" ini akan berkhayal bahwa dirinya merasa terancam sekalipun perasaan itu adalah terjemahan yang keliru dari ketidakberdayaannya menghadapi situasi dijadikan "barang contoh yang buruk" oleh orang lain.

Ketika kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi tak lagi mengenal sekat-sekat sosial dan sangat memberi tempat bagi segala bentuk publisitas, "seseorang yang merugi" akan merasa hidup dalam sebuah kutukan. Serupa tinggal di sebuah dunia yang isinya hanya cemooh. Seumur hidup ia akan selalu menjadi "seseorang yang merugi", karena bagi orang lain kisah hidupnya akan menjadi serial informasi yang menarik diikuti, apalagi jika budaya media massa mulai mendesainnya menjadi produk informasi yang perlu disajikan sebagai berita berkelanjutan.

Kita mengenal "seseorang yang merugi" itu sebagai tersangka kasus korupsi uang negara yang diseret ke meja hijau. Kepada jaksa dan hakim di pengadilan ia akan berkoar-koar menyebut nama orang lain yang seharusnya juga ikut diseret karena turut menikmati maupun menjadi otak tindak pidana itu. Seperti halnya Nazaruddin, tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games, yang menyebut orang-orang di belakang layar sebagai “Ketua Besar‘ dan “Bos Besar‘, yang seolah-olah ingin menjadi martir di hadapan pedang keadilan hukum yang hanya tajam ke arah "mereka yang merugi" dan tumpul ke arah "mereka yang mendapat".

Semakin sering ia menyebut "Ketua Besar" dan Bos Besar", publik justru semakin percaya bahwa ia sedang berusaha untuk mencari "kambing hitam". Galibnya dalam hukum publik di era publisitas, kebenaran yang disampaikan berulang-ulang dan tak kunjung bisa dibuktikan akan berakhir sebagai cemooh. Ujung jarum epidermis dalam teori komunikasi tak akan menjadi lebih tajam dalam menusukkan informasi kepada publik manakala berhadapan dengan realitas pesan yang melingkar-lingkar dan sepanjang proses itu terjadi distorsi yang tak bisa dihindarkan oleh komunikator. n

Link http://www.jurnas.com/halaman/10/2012-01-30/197142

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda