Anak Kecil dengan Bendera Kecil
’Merdeka!’’ Teriak anak kecil sambil menyodorkan bendera kecil kepada pemilik mobil berpelat merah yang sedang berhenti di persimpangan Jalan Teukur Umar–Jalan Sultan Agung, Bandarlampung. ’’Beli, Pak!’’
Oleh Budi Hutasuhut
Disiarkan di Radar Lampung edisi Kamis, 19 Agustus 2010
JANGANKAN membeli, pengendara mobil itu malah tak menggubris. Padahal, anak kecil itu hanya dipisahkan kaca jendela mobil yang tipis. Kaca yang bisa turun hanya dengan memencet tombol otomatis. Atau, setidaknya, ia bisa menjawab teriak ’’merdeka’’. Karena toh, ini zaman kita tidak perlu angkat senjata lagi untuk teriak merdeka. Sedikit rasa nasionalisme untuk menjawab sapaan ’’merdeka’’ itu, sesungguhnya akan lebih dari cukup bagi anak kecil penjaja bendera kecil.
Hari itu, semua kantor pemerintah sedang libur. Seharusnya, kendaraan dinas juga tak berseliweran. Tapi, dasar pejabat tidak paham defenisi korupsi. Mereka tetap memakai mobil dinas untuk kepentingan pribadi. Mungkin minyak dan biaya perbaikan mobil dinas itu diambil dari dana APBD. Dan tak sadar, ketika mereka bersikap angkuh untuk tak menggubris anak kecil penjual bendera kecil itu, sesungguhnyalah keangkuhan itu merupakan wujud keangkuhan pemerintah.
Kita pun menjadi paham bahwa apa yang disampaikan Presiden SBY tentang memerangi korupsi, sama artinya tidak tahu diri. Kenapa tidak dimulai dari tubuh institusi pemerintahan, dari pejabat-pejabat yang selalu terlihat bagai kelaparan. Kenapa tidak dimulai dari hal-hal yang kadung dianggap bukan korupsi seperti memakai kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi.
***
Kembali kepada anak kecil penjaja bendera kecil itu. Pada hari itu, ia meneriakkan ’’merdeka’’, tepat 17 Agustus 2010. Pada tanggal itu 65 tahun lalu, tak ada seorang pun anak kecil yang menjual bendera kecil di persimpangan jalan raya seperti dirinya. Semua orang –orang tua, orang muda, orang sehat, orang sakit, orang cacat, orang normal– hanyut dalam euphoria kemerdekaan. Mereka bersorak-sorai bernyanyi riang. Mereka membayangkan sebuah bangsa yang merdeka dengan rakyat yang hidup makmur.
Ketika itu, tak pernah terpikirkan oleh siapa pun bahwa 65 tahun yang akan datang, kemerdekaan yang diperoleh itu ternyata menghasilkan anak-anak kecil yang menjual bendera kecil. Anak-anak yang tahu arti merdeka, yang lantang mengucapkan kata ’’merdeka’’, tapi tak menikmati makna merdeka.
Merdeka bagi mereka adalah bisa menjual satu atau dua bendera kecil di persimpangan Jalan Teuku Umar–Jalan Sultan Agung. Merdeka bagi mereka adalah saat menghitung jumlah rupiah hasil penjualan bendera kecil itu.
Di luar hal hasil kerja itu, mereka hampir tidak pernah menyoal kata ”merdeka”. Mereka hanya tahu satu hal, setiap bangun tidur, mereka mendapati dirinya hidup dalam kemiskinan dan kesulitan luar biasa untuk bersekolah. Setiap pagi, udara pertama yang diirup adalah udara yang getir. Kenyataan memaksa mereka untuk bertarung dalam hidup, terombak-ambik serupa kapal hilang kemudi, dan terkapar setiap siang di pinggir jalan.
Anak-anak kecil yang menjajakan bendera mungil itu tidak sepenuhnya merdeka. Ketika anak-anak lain setiap pagi berkemas hendak berangkat sekolah sebagai bentuk kenikmatan dari kemerdekaan, mereka justru berusaha keras untuk tak pernah memikirkan soal sekolah.
***
Makin tak merdeka riwayat hidup anak-anak kecil penjaja bendera kecil itu ketika pemerintah daerah mengategorikan mereka sebagai penyakit sosial. Penyakit sosial hanya pandangan streotipe yang memaksa sekelompok masyarakat untuk terpojok ke sisi-sisi paling redup dari kehidupan manusia. Anak-anak kecil itu berkubang dalam sisi yang redup itu dengan sebutan anjal (anak jalanan).
Anjal punya konotasi yang miring dan miris. Mereka menjadi sisi buruk dari sebuah kota, sesuatu yang mesti disobek dari buku tebal tentang pembangunan daerah. Disobek begitu saja dengan enteng dan tanpa beban. Padahal, anak-anak kecil penjaja bendera mungil itu tidak pernah minta dilahirkan sebagai anjal. Mereka adalah korban dari situasi ekonomi yang tidak mengamalkan sila ’’keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia’’. Situasi yang diciptakan dan tercipta dari ketidakjelasan konsep pembangunan daerah yang diperparah oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme atas dana-dana anggaran pendapatan dan belanja daerah dan anggaran pendapatan belanja negara (APBD-APBN).
Tapi, berapa banyak dari pejabat pemerintah yang paham bahwa anjal itu merupakan implikasi serius dari dinamika pembangunan yang kurang menyentuh semua lapisan masyarakat? Bisa dibilang hampIr tidak ada. Sebab, para pejabat lebih banyak melihat anjal sebagai penyakit sosial yang timbul dari adanya upaya sekelompok orang untuk mengendalikan dan memanfaatkan anjal menjadi pedagang asongan, pengemis, dan pengamen jalanan. Itu sebabnya, setiap program yang diluncurkan pemerintah daerah dalam mengatasi anjal lebih banyak diarahkan untuk mencari dan menemukan dalang, kelompok yang mengelola anjal.
Kebijakan ini sama saja dengan pekerjaan seseorang yang memangkas bagian daun dari suatu penyakit dan membiarkan akarnya tumbuh subur.
***
Anak kecil penjaja bendera kecil itu bagian dari warga bangsa. Keanjalannya adalah keanjalan bangsa. Ia menjadi sisi buruk dari sebuah bangsa. Dan, tentu, realitas itu memaksa kita membongkar tesis lama soal apa itu bangsa.
Para penganut nasionalisme konstruktivis sudah mengingatkan bahwa entitas kebangsaan itu ditentukan oleh kesamaan nasib di masa lalu dan kesamaan visi dan misi. Sayang, bangsa kita belum sampai pada tahap itu. Tidak ada kesamaan nasib di masa lalu dan kesamaan visi dan misi di masa sekarang. Kita tampil sebagai indivdu yang hanya perduli dengan urusan personal. Paling serius jika menyangkut urusan kelompok.
Di persimpangan Jalan Teuku Umar–Jalan Sultan Agung itu, kentara sekali bahwa sesama warga bangsa (dalam lingkup kecil sesame warga Kota Bandarlampung) tidak memiliki kesamaan nasib dan kesamaan pandangan. Pejabat pengendara mobil berpelat merah itu merasa berada pada tingkat tertinggi dari stratifikasi sosial sehingga tidak merasa penting untuk menurunkan kaca mobil sekadar bertukar pandang dengan anak kecil penjaja bendera mungil.
Pada tataran ini, tidak ada jiwa prososial. Yang ada justru apatisme terhadap sekitar. Dan, watak itu sepenuhnya menjadi watak pejabat pemerintah daerah. Watak yang mendorong pejabat mengeluarkan peraturan daerah yang isinya berupa denda kepada siapa saja yang memberi uang kepada anjal dan pengemis. (*)
0 #type=(blogger)