sudah lama ruang ini dibekap gelap
warna samun dari rimba alpa
yang kami bangun tanpa sengaja
di dalamnya kami selalu meraba
saling menjengkal dan terluka
kami mengaduh oleh rasa sakit berbeda,
nyeri tak terawat. jiwa kami dikocok bimbang,
batin tertatih menuju pintu muasal
dengan luka yang terus bergetah
kami tak ingin semua ini di nadi mengental
nyalakan semua yang bisa menyala
hingga kau lihat kirut pada keningku,
lekuk sinis pada bibirmu tampak nyata
kami temukan juga senyuman yang dibuang
di lantai, mengirut diselaputi debu
melembab digerogot sepi tanpa kata-kata maaf
atau puisi-puisi cinta. hingga mata kami
susah mengusap lingkar dunia
sebelum segala kikis diamuk waktu
kami harus kenali lagi semua tanda
cakrawala merah, jingga, kuning, dan biru
yang lama terabaikan dalam kegelapan wasangka
kami ingin mengenali kembali tempat
tahi lalat, juntai misai, dan warna-warna
keindahan. merasakan ada yang bangkit
semacam kenangan, serupa ingatan
lihatlah!
bukankah dulu kami pernah menenggak kopi
dari gelas yang sama sampai tinggal serbuk
sampai pagi dan kau berkata:
"aku seperti menikmati keringat orang-orang dari liwa."
akupun teringat sepotong puisi
dari liwa: "ajar sikam cawa cinta!"*
Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Desember 2006
warna samun dari rimba alpa
yang kami bangun tanpa sengaja
di dalamnya kami selalu meraba
saling menjengkal dan terluka
kami mengaduh oleh rasa sakit berbeda,
nyeri tak terawat. jiwa kami dikocok bimbang,
batin tertatih menuju pintu muasal
dengan luka yang terus bergetah
kami tak ingin semua ini di nadi mengental
nyalakan semua yang bisa menyala
hingga kau lihat kirut pada keningku,
lekuk sinis pada bibirmu tampak nyata
kami temukan juga senyuman yang dibuang
di lantai, mengirut diselaputi debu
melembab digerogot sepi tanpa kata-kata maaf
atau puisi-puisi cinta. hingga mata kami
susah mengusap lingkar dunia
sebelum segala kikis diamuk waktu
kami harus kenali lagi semua tanda
cakrawala merah, jingga, kuning, dan biru
yang lama terabaikan dalam kegelapan wasangka
kami ingin mengenali kembali tempat
tahi lalat, juntai misai, dan warna-warna
keindahan. merasakan ada yang bangkit
semacam kenangan, serupa ingatan
lihatlah!
bukankah dulu kami pernah menenggak kopi
dari gelas yang sama sampai tinggal serbuk
sampai pagi dan kau berkata:
"aku seperti menikmati keringat orang-orang dari liwa."
akupun teringat sepotong puisi
dari liwa: "ajar sikam cawa cinta!"*
Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Desember 2006