Oleh Budi Hatees
Dipublikasi di Analisa edisi 28 Agustus 2011
Karya sastra adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta. Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan, apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan Indonesia- sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi estetik yang ada pada karya seni.
Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan, yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan dengan cara “membunuh” pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes, “telah mati.” Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang.
Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal, kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak Eco sangat kental di sana.
Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis. Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas, merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan latar belakang cultural yang jelas dan tegas. Dengan cara seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan komunikatif.
Sesungguhnya, karya sastra merupakan satu bentuk cara berkomunikasi. Seorang sastrawan akan berusaha menjadikan karyanya komunikatif dengan mengasumsikan bahwa tanda-tanda bahasa yang digunakannya setara dengan tanda-tanda yang kolektif pada diri calon pembacanya. Sastra yang baik adalah yang menjauhi miskomunikasi.
Oleh karena pembaca sangat beranekaragam latar belakang sosial, kultural, intelektual, gender dan agama mereka, dengan kode, konvensi dan aturan-aturan sosial yang berbeda pula. Pesan sebuah karya sastra dapat dipahami maknanya secara berbeda, dengan mengacu pada kode pembacaan yang berbeda pula. Meskipun makna denotatif (denotation) sebuah karya sastra bisa sama antara pengarang dan pembaca, akan tetapi makna konotasi (connotation) dapat berbeda-beda, disebabkan perbedaan kode yang digunakan dalam pembacaan. Sebuah teks membuka dirinya bagi berbagai bentuk pembacaan. Dalam sastra yang baik, para pembaca terlibat untuk mencipta ulang (recreation) karya.
Sastra adalah sebuah metode dalam mengungkap realitas kehidupan yang merupakan rangkaian teka-teki, pertanyaan, atau enigma, untuk menemukan apa yang kita yakini sebagai kebenaran (truth). Dengan pemahaman seperti ini, provokasi Yulhasni dalam esainya, “Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik” (Analisa edisi 21 Agustus 2011), sesungguh tak perlu ditanggapi, jika yang dimaksud membangkitkan polemik tentang “sastra yang berpihak” dan “sastra yang mengalienasi” yang sudah lama dikubur.
Jika gagasan ini muncul lantaran asumsinya, sastrawan Sumut mengalienasi masyarakat dari karya-karyanya, maka perlu dipertanyakan apakan gagasannya tentang sastra Sumut “yang terlalu mengesampingkan ranah politik” merupakan hasil pembacaan yang intens terhadap karya-karya yang ada? Ataukah semacam kesombongan intelektual yang hendak mengarusutamakan agenda politik ketimbang agenda estetis dari karya seni?
Kita di Sumatra Utara (Sumut), yang memutuskan menjadi seorang kreator sastra karena disemangati oleh aneka manuver, taktik dan strategi agar mendapat pengakuan sebagai sastrawan, pada dasarnya kehilangan tujuan seni yang sesungguhnya. Sastra bukanlah soal kerja keras dan tekun dalam memetik sumber sastra untuk tujuan estetika berkesenian, tetapi kerja peras agar karya sastra itu tersosialisasikan secara kontiniu dalam medium-demium sosialisasi seperti koran dan majalah. Kita menulis karya sastra dalam kondisi disorientasi, terlanjur menganggap menjadi sastrawan sesuatu yang kren dan cool, meskipun sesungguhnya kita tak pernah siap menghadapi realitas yang keras dalam dunia kreatif ini. Ketika suatu saat karya sastra kita dikritik orang kita dikritik orang lain, kita merasa dunia sudah kiamat.
Di Sumut, sastra bergerak tidak selalu pada rel yang sama dilalui lokomotif sastra nasional. Lokomotif sastra Sumut memiliki rel sendiri. Bagi sastrawan daerah lain terkesan kolot dan tak mengikuti perkembangan yang ada karena kuat mempertahankan tradisi berkesusastraan ala Pujangga Baru, yang tidak terlalu sibuk memikirkan keunikan ekspresi. Karya sastra di Sumut tidak mengikuti tradisi sastra yang kini meracuni kesusastraan nasional yang sangat kuat ditandai aliterasi, mengagungkan rima, tipologi dan membicarakan hal-hal yang tak dapat dipakai untuk mengetahui kebenaran dari kehidupan.
Kesusastraan nasional, terutama yang disosialisasikan di media-media terbitan Jakarta, merupakan karya-karya sastra yang meminta pembaca untuk tak perlu susah payah menemukan makna yang berarti dari karya sastra tersebut karena yang terpenting adalah menikmatinya. Pemikiran seperti inilah yang mengeristal dalam penerbitan buku puisi Nirwa Dewanto, Jantung Lebah Ratu, dalam novel “membingungkan” berjudul Cala Ibi karya Nukila Amal, atau cerpen-cerpen fantastik seperti yang ditulis Triyanto Tiwikromo. Kesusastraan nasional memosisikan para sastrawan sebagai sosok yang teramat penting, entitas yang keinginan-keinginannya dalam berkarya harus menjadi panduan bagi pembaca.
Penumpang lokomotif sastra Sumut tidak terlalu pusing apakah karyanya akan mampu menembus ruang-ruang sosialisasi karya di media-media terbitan Jakarta atau tidak. Karena mereka meyakini, untuk menjadi seorang sastrawan tidak harus melakukan manuver, taktik, dan strategi yang dijalankan sastrawan-sastrawan daerah lain di luar Sumut, karena Sumut memiliki cukup banyak ruang-ruang sosialisasi yang potensial. Memang, ada juga satu dua sastrawan asal Sumut berorientasi keluar dari Sumut dan terpaksa menyesuaikan estetika seni karyanya dengan resiko kehilangan tujuan seni yang sesungguhnya. Merekalah para sastrawan yang terjebak dalam booming teenlit atau sastra populer yang hanya menawarkan hiburan.
Pengecualian bisa diberikan terhadap antologi Sampan Zulaikha (2010) karya Hasan Al Banna serta cerpen-cerpennya yang kadang berusaha menjadi naturalis. Di hadapan buku sastra ini provokasi Yulhasni menjadi tidak beralasan. Simpul yang dibuatnya tentang sastra Sumut “yang terlalu mengesampingkan ranah politik”, menjadi sangat murahan dan terdengar seperti percakapn kosong di kedai kopi. Hasan Al Banna mampu mengatasi problem-problem sosialisasi karya sastra di luar Sumut tanpa harus mengubah tujuan estetika seninya dengan cara menguarkan realitas-realitas lokal yang kadang membuat karyanya terjebak menjadi semacam risalah sosial.
Meskipun begitu, cerpen-cerpen dalam buku ini tekstual dengan realitas politik dalam kehidupan masyarakat saat ini. Cerpen-cerpen itu menegaskan betapa negara (kekuasaan) yang dijalankan secara keliru akan menghasilkan masyarakat yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik hidup tertindas.
Cerpen Sampan Zulaikha, misalnya, berbicara tentang hegemoni politik laki-laki atas perempuan; hagemoni manusia normal terhadap manusia kurang normal. Cerpen ini sangat bias gender, yang mendorong Zulaikha berjuang untuk meneguhkan eksistensinya, kesejajaran perempuan dengan laki-laki. Perjuangan Zulaikha adalah realitas politik di lingkungan masyarakat kita ketika elite penguasa melakukan diskontinuitas antara citra politik (political image) dengan realitas politik (real politics) dimana kebenaran dimanipulasi.
Kembali pada provokasi Yulhasni, tampaknya, ini hanya sebuah gagasan yang buru-buru diapungkan. Sesuatu yang tak seharusnya lahir dari seorang akademisi sastra. Hm.
Catatan: Esai ini polemik tentang sastra dan politik di Analisa yang melibatkan Yulhasni, T. Agus Khidir, Jones Gultom, Afrion, dll
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda