MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Saya dan Kebudayaan Lampung


Awalnya, Febri Hastiyanto hanya saya kenal lewat tulisan-tulisannya yang mengkaji perihal kebudayaan Lampung. Sebagai perantau dari Sumatra Utara di Lampung, saya paham betul ada semacam "ketakenakan" di antara masyarakat Jawa dengan Lampung. Semacam perasaan yang sulit menerjemahkannya, dimana setiap kelompok etnik merasa bahwa etnik yang lain suatu saat akan merugikan dirinya dan etniknya. Ini beban dari warisan kolonialisme, sebuah politik adu domba dibangun Belanda, yang memosisikan Jawa dengan Lampung sebagai lawan tanding. Belanda senantiasa meninggikan derajat masyarakat Jawa sebagaiu etnik yang rajin, sedang masyarakat Lampung sebaliknya.
Dalam soal berkebun, misalnya, memang kemudian secara kasat mata bisa dilihat perbedaannya. Masyarakat Jawa, kalau berkebun, arealnya selalu rapi dan tidak ada gulma di sekitar tanaman induk. Sebaliknya, masyarakat Lampung tidak pernah membabat semua gulma di sekitar tanaman induk. Masyarakat Lampung hanya membabat di sekitar pohon, sedangkan lainnya ditumbuhi oleh gula berupa rumput-rumputan. Belakangan saya tahu, kedua cara itu sama-sama punya resiko negataif sekaligus positif.

Dalam situasi seperti itulah, tiba-tiba saja saya banyak membaca tulisan Febrie Hastiyanto--yang orang Jawa--tentang kebudayaan Lampung. Sebuah manuskrip bukunya tentang kebudayaan Lampung di Way Kanan membuat saya semakin yakin bahwa ia seorang yang serius menekuni bidang ini. Saya menjadi sangat ingin berdiskusi dengan dirinya, karena saya memiliki ketertarikan yang sama terhadap kebudayaan Lampung. Puluhan tulisan saya tentang ragam budaya Lampung telah saya publikasikan di sejumlah media massa dan jurnal, yang membuat saya berkenalan dengan sejumlah antropolog di negeri ini sekaligus juga menjadi lebih dekat dengan tokoh-tokoh adat (penyimbang maupun saibatin) di lingkungan masyarakat Lampung. Saya juga berkenalan dengan tokoh adat di Melinting, yang memberi tahu sejarah tentang Keratuan Melinting serta keberadaan situs Pugung Raharjo. Tentang sejarah ini, saya tulis sebuah novel bersambung yang dimuat di Harian Koran Lampung berjudul Putri Sinar Kaca.

Saya sering keluar masuk kampung-kampung tua (tiyuh tuha), masuk rumah-rumah adat (lamban atau nuwou), dan bercakap-cakap dalam bahasa Lampung dengan para orang tua. Sebuah keuntungan, saya berkenalan dengan seorang peneliti kebudayaan Lampung yang dibiayai Kanwil P dan K pada dekade 1980-an, dan ia menyerahkan kepada saya lima buku tebal rangkuman hasil penelitiannya. Kelima buku itu terdiri dari: (1)Analisis atas Sastra Lisan Lampung; (2)Ensklopedia Dongeng Lampung; (3)Tata Bahasa lampung; (4)Lagu-Lagu Lampung; dan (5)Pantun-pantun Lampung.

Dalam kesibukan saya mengumpulkan data-data tentang Lampung, saya kemudian berkenalan dengan Ketua Asosiasi Arsitek Indonesia (AAI) Lampung, almarhum Riaw Hufeina, yang kemudian mengajak saya menulis buku tentang arsitektur tradisional rumah-rumah adat Lampung dan ornamen-ornamen Lampung. Bahan saya tentang Lampung bertambah, pengetahuan saya semakin luas pada masalah arsitektur. Belakangan, kemudian, saya bertemu dengan beberapa tokoh akademisi yang menjadikan kebudayaan Lampung sebagai objek penelitian dalam disertasi maupun tesis doktoral mereka. Saya mengumpulkan disertasi dan tesis yang membahas tentang kebudayaan Lampung itu. Lalu, beberapa waktu lalu, tanpa sengaja saya berhasil mengumpulkan ratusan foto Provinsi Lampung di zaman Belanda. Saya juga semakin mengenali seni tenun atau kain asli Lampung.

Semua data itu saya simpan dan jadi bahan saya menulis tentang Lampung. Secara tak sengaja pula, ketika ada seminar tentang Bahasa Daerah yang digelar Kantor Bahasa Lampung, saya mendapat banyak bahan hasil penelitian tentang bahasa daerah di wilayah Sumatra bagian Selatan. Perbendaharaan saya semakin bertambah saat ada kawan memberi peluang untuk mengakses data-data ke Belanda. Ternyata, Lampung sebagai sebuah masyarakat, sudah diteli banyak ahli sejak dahulu kala. Tapi, semua hasil penelitian itu -- yang membuat para penelitinya memperoleh gelar doktor dan profesor--hampir tidak ada yang diarsipkan di Lampung. Saya justru menyimpan sebagiannya.

Sekarang, data itu saya simpan. Dalam keasyikan saya mencoba memahami Lampung, saya ingin ada orang yang kelak mau menyimpan data-data saya. Saya mengimpikan ada sebuah ruang berisi semua data saya dan siapa saja boleh mengambil data di sana.

1 comment:

  1. wah bagus banget bang..ruli tertarik dong datanya....

    ReplyDelete

Terima kasih atas pesan Anda